Oleh
Ida Liana, M.Pd
Tahun ajaran 2018/2019 saya mendapat tugas sebagai guru IPS, salah satunya mata pelajaran sejarah di SMALB tunarungu dan tunanetra. Ini kali pertama saya mengapat tugas mengajar mata pelajaran tersebut karena sebagai guru pendidikan khusus di SLB biasanya saya mendapat tugas mengajar di kelas SMPLB dan SDLB.
Tidak mudah menjadi seorang guru
pendidikan khusus atau anak cacat, Kita tidak hanya pintar tetapi harus mampu
menciptakan metode dan trik khusus untuk mengajar mereka. Anak berkebutuhan
khusus atau anak cacat berbeda dengan anak normal. Karakteristik mereka mereka
bermacam-macam, salah satu karakteristik yang menonjol dari anak berkebutuhan
khusus adalah bila dia menyukai seorang guru, Dia hanya ingin guru yang dia
sukai yang mengajarnya dan tidak mau ke guru yang lain. Guru yang professional
memiliki keakraban dengan siswa-siswinya, memiliki komunikasi yang baik
terhadap siswa-siswinya, membuat suasana kelas nyaman dan mengasikan.
Anak
berkebutuhan khusus pun menurut Hallahan dan Kauffman dalam Andi Wijaya (2017)
memerlukan pendidikan dan layanan yang khusus agar potensi kemanusiaan yang
mereka miliki dapat berkembang. Anak berkebutuhan khusus sudah jelas tampak
berbeda dengan anak kebanyakan dalam satu atau lebih hal semisal: adanya
keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan
emosi atau perilaku, hambatan fisik, hambatan berkomunikasi, autisma, hambatan
pendengaran, hambatan penglihatan atau keberbakatan dan kecerdasan istimewa.
Salah satu karakteristik
belajar dari anak berkebutuhan khusus
salah satunya adalah harus kongkrit apa lagi untuk pelajaran sejarah. Sebagai
guru anak berkebutuhan khusus ini adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi
sehingga di depan siswa zaman now atau
sering disebut generasi milenial saya harus membuat pelajaran sejarah dapat di
mengerti, dan menyenangkan dalam kontek pengajaran kekinian bukan hanya sekedar
hafalan. Generasi milenial tidak hanya
anak normal tetapi anak berkebutuhan khusus juga termasuk generasi milenia.
Generasi milenial lahir ketika handphone dan media sosial
mulai muncul di Indonesia, sehingga wajar apabila generasi ini lebih melek teknologi
dibanding generasi-generasi sebelumnya (Republika, 2016).
Dengan memfaatkan teknologi
seperti handphone, komputer saya dapat mengajarkan sejarah. Beredarnya
film-film sejarah di youtube tentu
bisa membantu siswa untuk belajar dari sebuah peristiwa atau tokoh sejarah. Salah satu materi
pelajaran sejarah yang dapat di lihat di
youtube adalah sejarah tentang
Kerajaan Sumedang Larang di Kabupaten Sumedang. Asal Usul kerajaan Sumedang
larang dalam Adeng Lukmantara (Emut
Muchtar Wordpress, 2016) pada awalnya merupakan sebuah kabuyutan
/kabataraan yang didirikan oleh Prabu Aji Putih,. Dalam sejarah kerajaan Sunda
atau Galuh disamping kekuasaan raja, juga ada suatu bentuk kekuasaan keagamaan
yang diakui sebagai daerah yang sangat dihormati, dan punya otoritas dalam keagamaan,
yang disebut dengan kabuyutan atau ada yang menyebut dengan kabataraan. Ketika
pusat kabuyutan sunda di karantenan gunung sawal berubah menjadi kerajaan
Panjalu dibawah pimpinan Rangga Sakti, maka pada saat itu seolah sudah tidak
ada lagi kabuyutan atau kabataraan di lingkungan kerajaan sunda Galuh. Karena
itu Prabu Suryadewata sebelum keraton Galuh di pindahkan ke Pakuan (Bogor
sekarang) memerintahkan kepada Prabu Aji Putih untuk mendirikan kabuyutan /
pusat keagamaan di Tembong Agung.
Prabu
Suryadewata merupakan raja Galuh, putra dari Prabu Ajiguna Wisesa,
seorang Raja Sunda Galuh yang berkuasa dari tahun 1333 sampai
dengan tahun 1340 M. Dalam Carita parahiyangan Prabu Ajiguna Wisesa ini disebut
hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding).
Prabu Ajiguna Wisesa mempunyai 3 orang anak, yaitu Prabu Ragamulya Luhur
Prabawa ( mp. 1340-1350 M) atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot. Ia
kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda. Yang kedua Dewi Kiranasari
merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang ketiga
Prabu Suryadewata, merupakan anak bungsu, yang kemuudian
diangkat menjadi Raja (Ratu) Galuh. Mendapat perintah raja kemudian
Prabu Aji Putih mendirikan kabuyutan yang dinamai Tembong Ageung di
Leuwi Hideung (sekarang berada di kecamatan Darmaraja). Tembong Agung berarti
Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang agung berarti besar
dan luhur). Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Kabuyutan Tembong
Ageung mengalami beberapa kali perubahan nama. Putra dari Aji putih yang
bernama Prabu Tajimalela, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa
kabuyutan, mengganti Tembong Ageung dengan nama Himbar Buana,
yang berarti menerangi alam. Setelah melakukan pertapaan Prabu Tajimalela,
seolah mengalami pencerahan, dan ia berkata:” Insun medal
insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi). Dan dari
perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil.
Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat
Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal
dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti
sesuatu yang tidak ada tandingannya. Raja-raja yang berkuasa di Sumedang Larang,
adalah:
1.
Prabu Aji Putih
2.
Prabu Tajimalela
3.
Prabu Lembu Agung
(Lembu Peteng Aji)
4.
Prabu Gajah Agung
5.
Sunan Pagulingan
6.
Sunan Guling
7.
Sunan Tuakan
8.
Nyi Mas Ratu Patuakan
9.
Ratu Pucuk Umun
10. Prabu Geusan Ulun (mp. 1578-1608 M)
1.
PRABU AJI PUTIH
Prabu resi Aji putih
adalah seorang resi trah Galuh (masih keturunan bangsawan galuh), yang dianggap
sebagi perintis dari kerajaan Sumedang Larang. Ia diyakini merupakan keturunan
dari Aki Balangantrang, cucu Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh), dan
merupakan inspirator dalam kudeta Ciung Wanara (Sang Manarah) di tanah
Galuh. Ia datang ke suatu kampung yang bernama Cipaku, yang letaknya di pinggir
sungai Cimanuk (kampung Muhara, desa Leuwihideng, kecamatan Darmaraja
Sumedang). Disini ia melakukan perubahan tatanan pemerintahan dan masyarakat,
yang konon daerah ini sudah ada sejak abad ke-8 M. Pengaruhnya semakin kuat
sehingga kekuasaanya meluas hingga sepanjang walungan (sungai) Cimanuk, hingga
berdirinya kerajaan Tembong Ageung. Tembong Ageung berarti Kelihatan besar / luhur.
Prameswari prabu Aji Putih bernama Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau
terkenal juga dengan nama Nyi Mas Dewi Nawang Wulan, putri dari Jagat Jayanta
Dari perkawinanya ia mempunyai anak yang bernama Tajimalela, yang kemudian
menggantikannya. Setelah meninggal Prabu Aji Putih dimakamkan di Astana Cipeueut,
desa Cipaku Darmaraja. Dalam
cerita rakyat , Prabu Aji Putih dikatakan telah memeluk agama Islam, tetapi
cerita ini harus diteliti dengan jelas.
2.
PRABU TAJIMALELA
Prabu Tajimalela atau
Batara Tuntang Buana (Prabu Agung Resi Cakrabuana), dianggap sebagai
pokok berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Ia meneruskan kekuasaan
ayahnya, Prabu Guru Aji Putih. Pada zamannya nama kerajaan kemudian
diganti dengan nama Himbar Buana, yang berarti Menerangi alam. Tetapi setelah
ia bertapa ia mengubahnya menjadi kerajaan Sumedang Larang, meskipun ibukotanya
tetap di daerah Leuwihideung Darmaraja.
Prabu Tajimalela
pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya
dilahirkan saya menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama
Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun
madangan yang disingkat Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada
juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan
pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya. Prabu
Tajimalela hidup sezaman dengan Maharajara Sunda yang
bernama Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M). Situs peninggalan Prabu
Tajimalela berupa Lingga di situs gunung Lingga. Prabu Tajimalela mempunyai 2
orang putra, Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung. Berdasar Layang Darmaraja,
Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu
Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang satunya lagi
menjadi wakilnya. Tapi keduanya tidak bersedia, oleh karena itu Prabu Tajimalela
memberi ujian kepada keduanya, jika kalah harus jadi raja). Kedua putranya
diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang gunung sangkan jaya), dan
diperintahkan harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan). Tetapi
gajah Agung karena merasa kehausan membelah duwegan (kelapa muda) dan
meminumnya, sehingga ia kemudian dinyatakan kalah. Dengan demikian Prabu gajah
Agung harus menjadi raja, tetapi harus mencari ibukota sendiri. Dan Lembu Agung
kemudian menjadi resi, tetapi ia tetap menjadi raja sementara di Leuwi hideng
untuk memenuhi wasiat tajimalela Karena itu Prabu lembu Agung kemudian
terkenal dengan nama Prabu Lembu Peteng Aji. Disamping Prabu lembu agung dan
prabu gajah agung, ia juga mempunyai anak yang bernama Sunan Geusan Ulun. Prabu
Lembu Agung dan keturunannya tetap berada di Darmaraja, sedang Sunan Geusan
ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan brebes.
3.
PRABU LEMBU AGUNG (LEMBU PETENG AJI)
Prabu
lembu Agung menggantikan posisi ayahnya sebagai Raja di kerajaan Tembong Agung,
yang waktu itu mulai terkenal dengan nama Sumedang. Nama sebenarnya Pangeran
Jayabrata, dan setelah naik tahta bergelar Prabu Lembu Agung. Ia merupakan
putra pertama Tajimalela, yang lebih memilih menjadi resi daripada jadi raja,
karena itu ia terkenal dengan nama Prabu Lembu peteng aji. Ia berkuasa
jadi raja hanya untuk memenuhi wasiat ayahnya, Prabu tajimalela. Setelah
beberapa tahun berkuasa ia kemudian menyerahkan kekuasaanya kepada adiknya,
Prabu Gajah Agung.
Setelah
meninggal ia dimakamkan di Astana Gede, desa Cipaku kecamatan Darmaraja,
Sumedang, letaknya kira-kira 500 meter dari makam kakek dan neneknya, Prabu
Guru Aji Putih dan Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau Nyi Mas Dewi Nawangwulan.
4.
PRABU GAJAH AGUNG
Prabu
Gajah Agung, menjadi raja Sumedang Larang, menggantikan kakaknya, Prabu Lembu
Peteng aji, yang memilih menjadi resi. Nama sebenarnya adalah Pangeran
Atmabrata, dan setelah menjadi raja ia bergelar Prabu Gajah Agung. Pada
masanya, ibukota kerajaan dipindahkan ke Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang
selatan sekarang). Ia mempunyai anak yang bernama Pangeran Wirajaya, yang
kemudian menggantikannya, dengan gelar Sunan Pagulingan. Setelah meninggal,
Prabu Gajah Agung kemudian dimakamkan di Kampung Cicanting, Desa Sukamenak,
Kecamatan Darmaraja, Sumedang.
5.
SUNAN PAGULINGAN
Sunan
Pagulingan atau Prabu Pagulingan merupakan putra dari Prabu Gajah Agung. Nama
sebenarnya Pangeran Wirajaya, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan
Pagulingan. Ia tinggal di Cipameumpeuk. Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling
(desa Pasanggrahan, Sumedang Larang). Ia mempunyai 2 orang anak, yaitu Nyai
Ratu Ratnasih, dan terkenal dengan nama Nyai Rajamantri, diperisteri oleh
raja Pajajaran (raja Sunda), dan Pangeran Mertalaya. Karena
Ratnasih menjadi prameswari maharaja Sunda, maka raja Sumedang
Larang jatuh kepada adiknya, Merlaya, yang kemudian terkenal dengan nama
Sunan Guling. Setelah wafat, ia dimakamkan di Ciguling.
6.
SUNAN GULING
Nama
aslinya Pangeran Mertalaya, dan merupakan anak kedua dari Sunan
Pagulingan. Kakaknya, yang bernama Nyi Ratu Retnasih diperistri
raja pajajaran dengan gelar Nyi Rajamantri, dan pindah ke ibukota
Pakuan. Sehingga raja Sunda jatuh kepadanya, dengan gelar Sunan Guling. Ia
berkuasa dengan ibukota di Ciguling, (desa Pasanggrahan sekarang, Sumedang
Selatan). Setelah meninggal. Ia dimakamkan di Ciguling, dan tahta jatuh pada
anaknya yang bernama Pangeran Tirtakusuma, dan setelah menjadi raja bergelar
Sunan Tuakan atau Sunan Patuwakan.
7.
SUNAN PATUAKAN
Sunan
patuakan atau Tirtakusuma menjadi penguasa Sumedang larang menggantikan
ayahnya, Sunan Guling. Ia dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang. Ia
kemudian digantikan oleh anaknya, Sintawati yang terkenal dengan nama Nyi Mas
Patuakan.
8.
NYI MAS PATUAKAN / SUNAN CORENDA
Nyi
Mas Patuakan atau Sintawati menjadi raja Sumedang menggantikan
ayahnya, Sunan Patuakan. Sintawati menikah dengan Sunan Corenda (Sunan
Corenda adalah raja Talaga, putra dari Ratu Simbarkancana di kusumalaya, sedang
Kusumalaya merupakan putra dari Dewa Niskala, penguasa Galuh. Nyi Mas Ratu
Patuakan mempunyai seorang putri yang bernama Nyi Mas Ratu Inten
Dewata (1530-1578 M), yang kemudian menggantikannya, dan bergelar Ratu
pucuk umun. Sunan Corenda adalah putra Sunan parung, cucu Prabu Ratu Dewata
9.
RATU PUCUK UMUN (1530-1578 M) / PANGERAN
SANTRI
Ratu
Pucuk umun atau ratu Inten Dewata naik tahta Sumedang Larang
menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan dan ayahnya, Sunan Corenda. Ia
merupakan seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk
Islam, dan berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang
Larang. Pada masanya ibukota kerajaan Sumedang Larang dipindahkan
dari Ciguling ke Kutamaya. Pada pertengahan abad ke-16 M, mulailah corak agama
Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri kemudian masuk Islam
dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M), yang terkenal dengan
nama Pangeran santri, atau Ki Gedeng Sumedang.
Pangeran santri yang memerintah Sumedang
bersama istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh wilayah kerajaan. Pangeran
Santri adalah putra dari Pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati
tetarung), Putra Arya Dammar (Sultan Palembang). Ibunya Ratu Martasari
(Nyi Mas Ranggawuluung), anak Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman)
serta cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab
Hdramaut, yang berasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru
kerajaan Sunda. Pangeran Kusumah Dinata terkenal dengan nama Pangeran Santri
karena asalnya dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan
pernikahannya tersebut, berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang
Larang. Dan sejak itu menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang larang. Ratu
pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota Sumedang. Dari
hasil pernikahan antara Pucuk Umun dan Pangeran Santri melahirkan 6 orang
putra, yaitu:
1)
Pangeran
Angkawijaya, yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Geusan ulun, yang
menggatikan menjadi raja Sumedang Larang. Ia merupakan raja Sumedang Larang
terbesar dan terakhir kerajaan Sumedang Larang.
2)
Kiai rangga Haji, yang
mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang, supaya memeluk Islam.
3)
Kiai Demang Watang di Walakung
4)
Santowaan
Wirakusumah yang keturunannya berada di pagaden dan Pamanukan Subang.
5)
Santowaan Cikeruh
6)
Santowaan Awi Luar.
10. PRABU GEUSAN
ULUN (mp. 1579-1608 M).
Pangeran
Geusan Ulun menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri
dan Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai
ibukotanya. Nama sebenarnya adalah Pangeran Angkawirya, dan kemudian bergelar
Pangeran Kusumahdinata 2.
Pangeran
Angkawijaya dilahirkan 3 Sukrapaksasrawamummasa 1480 Caka atau 3 Dzulkaidah 965
H Bertepatan dengan 20 Juli 1558 M. Geusan Ulun dinobatkan jadi raja 1578
menggantikan ayahnya dan dikukuhkan pada 13 Angklapaksa Asyiyimasa 1502 Caka
atau 10 dzulkaidah 998 H atau 18 November 1580.
Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, kekuasaan
Kerajaan Sumedang Larang dipegang oleh Pangeran Santri. Dan setahun setelah
Pajajaran jatuh, Pangeran Santri menyerahkan kekuasaan pada anaknya, Pangeran
Angkawirya. Penobatan Pangeran Angkawirya dilakukan oleh hampir seluruh rakyat
pajajaran, setelah kerajaan itu jatuh karena serangan tentara Banten,
yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf. Gelar Prabu Geusan Ulun diberikan oleh
rakyat Pajajaran, Geusan berarti Tempat, sedang ulun berarti bernaung, atau
mengabdi. Penobatannya itu ditandai dengan diserahkannya mahkota kebesaran
“Binokasih” yang terbuat dari emas bertahtahkan intan berlian pemberian Prabu
Siliwangi Raja Pajajaran. Mahkota diserahkan oleh empat Kandagalante atau
panglima perang yaitu Mbah Jayaperkosa (Sanghiyang Hawu), Mbah Nanganan (Batara
Wiyatiwiradijaya), Mbah Terongpeot (Batara Pancarbuana) dan Mbah Kondanghapa.
Wilayah
kekuasaan Sumedang Larang meliputi Kuningan, Garut, Bandung, Tasik dan
Sukabumi (wilayah Priangan). Kecuali Galuh (Ciamis). Pada masanya kerajaan
Sumedang mengalami kemajuan yang pesat dibidang sosial, budaya , agama,
militer dan pemerintahan. Tetapi ketika dianggap sebagai penerus kekuasaan dari
Pajajaran, luas wilayahnya semakin luas. Di barat berbatasan dengan
sungai Cisadane, di timur berbatasan dengan sungai Cipamali (Brebes,
Purwekerto, Cilacap, Banyumas), kecuali Cirebon dan Jayakarta, batas utara laut
Jawa dan selatannya Samudra Hindia.
Prabu
Geusan Ulun memiliki 3 orang istri, yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru,
putri Sunan Pada. Yang kedua adalah Ratu Harisbaya, yang berasal dari Pajang
Demak, dan yang ketiga adalah Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya
tersebut, ia memiliki 20 orang anak. Istri pertama Nyi Mas Cukang Gedeng
Waru mempunyai anak:
1)
Pangeran
Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang.
2)
Raden
Aria Wiraraja 1
3)
Kiai
Kadu Rangga Gede
4)
Kiai
Rangga Patra Kalana di Cunduk kayu
5)
Kiai Aria
Rangga Pati di Haur Koneng
6)
Kiai Ngabehi
Watang
7)
Nyi
Mas Demang Cipaku
8)
Nyi
Mas Ngabehi Martayuda di Ciawi
9)
Nyi
Mas RanggaWiratama di Cibeureum
10) Raden Rangga Nitinagara di
Pagaden dan Pamanukan
11) Nyi Mas Rangga Pamade
12) Nyi Mas Dipati Ukur di
Bandung
13) Pangeran Tumenggung Tegal
Kalong
14) Kiai Demang Cipaku di Dayeuh
Luhur
Istri
kedua Ratu Harisbaya, mempunyai anak bernama Raden Suriadiwangsa, II (Rangga
Gempol 1), Sedangkan Istri ke tiga Nyi Mas Pasarean mempunyai anak:
1)
Raden
Kartajiwa.
2)
Raden
Mangunrana
3)
Raden
Tampangkil
4)
Nyi
Aden Sumalintang
5)
Nyi
Raden Nustawiyah
Konflik Dengan Cirebon
Dalam
upayanya memperdalam agama Islam, Prabu Geusan Ulun pernah ke Demak, yang
diikuti oleh 4 perwira utamanya yang disebut Kandaga Lante. Setelah dari Demak,
ia mampir di Cirebon Disini ia bertemu dengan penguasa Cirebon, Panembahan
Ratu. Prabu Geusan Ulun terkenal mempunyai perilaku yang santun,
disamping sangat tampan, sehingga disenangi penduduk Cirebon, termasuk
prameswari Panembahan Ratu, yang bernama Ratu Harisbaya. Sang ratu sangat
tertarik dan jatuh cinta pada Geusan Ulun, sehingga ketika
rombongan Prabu Geusan Ulun pulang ke Sumedang, ia dengan tanpa sepengetahuannya
ikut rombongan. Karena mengancam akan bunuh diri, akhirnya ia di bawa pulang ke
Sumedang. Karena kejadian ini Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan
untuk merebut kembali Ratu Harisbaya, sehingga terjadi perang
antara Cirebon dan Sumedang.
Dengan
penengah Sultan Agung dari Mataram yang meminta agar panembahan ratu
menceraikan Ratu Harisbaya, yang aslinya berasal dari Pajang-Demak yang dinikahkan oleh
sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan
syarat menyerahkan wilayah barat sungai Cilutung (sekarang
Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota
Sumedang Larang dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut dengan
Dayeuh Luhur.
Prabu
Geusan Ulun merupakan raja terakhir Sumedang larang, karena penguasa
selanjutnya memilih menjadi bagian dari Mataram dan pangkat raja turun
menjadi adipati (bupati) pada masa pemerintahan Rangga Gempol I pada tahun 1620
M.
Untuk
menjelaskan sejarah kerajaan Sumedang Larang tersebut diatas jika hanya
menjelaskan setelah itu disuruh menghapalkan mungkin siswa khususnya anak
milenial sekarang tidak kuat hapalan, apalagi untuk anak berkebutuhan khusus.
Karakteristik anak milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi
sosial-ekonomi. Mengajar sejarah sebaiknya buat anak penasaran misalnya dengan
menggunakan teknologi digital, media komunikasi dan mengunjungi langsung musium-musium
bersejarah, rasa penasaran akan membuat
mereka menyukai sejarah. Tehnik mengajar sejarah seperti ini sangat tepat
sekali terutama untuk anak berkebutuhan khusus.
Ketika saya mengajar sejarah tentang kerajaan
Sumedang Larang dengan menggunakan youtube kemudian membawa mereka mengunjungi musium Sumedang, minat mereka terhadap
pelajaran sejarah meningkat. Bahkan mereka seperti hafal di luar kepala. Siapa Pangeran Geusan Ulum, Pangeran Kornel,
Prabu Tajimalela, Prabu Gajah agung dan lain-lain, serta hapal nama-nama jalan
di kota Sumedang yang menggunakan nama-nama pangeran Sumedang. Bahkan salah
satu siswa berkata kepada saya “bu nanti jika pelajaran sejarah kita menonton
film Bandung Lautan Api di youtube, terus kita jalan-jalan ke kota Bandung
melihat Tugu Bandung Lautan Api”. Mengajar
Sejarah harusnya bisa menanamkan semangat juang anak-anak untuk berjuang meraih
impiannya. Guru bisa mengajak anak-anak dengan belajar dari Gajah Mada yang
pantang makan buah palapa sebelum mempersatukan nusantara, atau soal Bung Hatta yang pantang menikah sebelum
Indonesia merdeka. Esensi dari belajar sejarah tak lain adalah menggali
nilai-nilai dalam peristiwa sejarah atau belajar bagaimana tokoh sejarah
menghadapi hidup dan membuat sejarah. Mudah-mudahan essay yang saya buat ini dapat menginsfirasi
guru-guru lainnya.
Daftar Pustaka
Lukmantara, Adeng, (2016), Asal Usul Kerajaan Sumedang larang, https://emutmuchtar.wordpress.com/2016/04/20/asal-usul-kerajaan-sumedang-larang/, 25 Juni 2019, pukul 09.00 am
Menkominfo, (2019). Mengenal Generasi Millennial,
https://www.kominfo.go.id/content/detail/8566/mengenal-generasi-millennial/0/sorotan_media, 24
Juni 2019, pukul 08. 15 pm
Republika, (2016), Mengenal Generasi Millennial,
Wijaya,
Andi, (2017), Makalah, Karakteristik Anak
Berkebutuhan Khusus, http://andiwijaya4creg2017.blogspot.com/2017/06/makalah-karakteristik-anak-berkebutuhan.html,
25 Juni 2019, pukul 10.00 am